Najway Azka Ar-Robbaniy
(Mahasiswa Fakultas Pendidikan Psikologi,
Universitas Negeri Malang)
Setelah sekian lama menjalankan banyak sekali kurikulum, nampaknya
sistem pendidikan yang dijalankan di Indonesia mengecewakan banyak masyarakat.
Banyak anak-anak pintar, namun tak bermoral. Akhirnya masyarakat mencari solusi
dengan mendidik anaknya bukan hanya di sekolah umum saja, namun juga menambah
dengan pengajaran agama sepulang dari sekolah, misalnya dengan pendidikan TPQ.
Supaya anak bisa membaca Al-Qur’an sekaligus mengetahui agama melalui madrasah
sepulang dari sekolah umum. Selain itu, banyak juga masyarakat yang
menggabungkan pembelajaran agama dan umum dengan model full day school. Jadi
anak sudah mendapatkan pengajaran Al-Qur’an bersama dengan pengajaran umum di
tempat yang sama sekaligus. Karena pesantren dirasa juga memiliki kelemahan
yakni tidak optimalnya pembelajaran umum yang diajarkan. Menjamurnya sekolah
swasta yang berbasis agama, termasuk agama Islam merupakan bentuk
ketidakpercayaan masyarakat terhadap sekolah umum yang hari ini disediakan oleh
pemerintah.
Ternyata pemerintah mulai menyadari juga krisis moral yang ada di
tengah generasi akibat tidak adanya pembelajaran karakter yang diberikan di
sekolah umum. Tercetuslah kurikulum berbasis karakter melalui kurikulum 2013.
Setelah berjalan beberapa waktu kurikulum ini bahkan dirasa tak cukup mampu
membendung rusaknya moral generasi, namun malah menjadi beban para praktisi.
Menteri pendidikan yang baru saja dilantik setelah reshuffle kabinet pun
mencanangkan akan memberlakukan model full day school kepada setiap sekolah dan
mewajibkannya untuk dilaksanakan.
Polemik Lima Hari Sekolah
Pada 7 Agustus 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy
menyampaikan kepada Presiden Joko Widodo tentang rencana lima hari sekolah.
Kemudian selang kurang lebih setahun setelahnya, Mendikbud mengesahkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 23/2017 tentang Hari Sekolah (12/6/2017).
Namun, Komisi X DPR meminta kebijakan lima hari sekolah tidak dipaksakan di
semua sekolah, tetapi sebagai pilihan sesuai dengan kebutuhan (13/6/2017). Lalu
terselenggaralah Pertemuan antara Presiden, Mendikbud, Rais Aam PBNU Ma’ruf
Amin membahas kebijakan sekolah lima hari di Istana Merdeka, Jakarta. Ma’ruf
Amin mengumumkan penundaan kebijakan sekolah lima hari itu (19/6/2017). Hingga
akhirnya, Presiden menegaskan, penerapan sekolah lima hari bisa dilakukan jika
semua unsur pendukung siap dan mendukung. Namun, hal ini tidak wajib
(10/8/2017).
Beberapa kali kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy jadi kontroversi. Dua di antaranya dimentahkan oleh Presiden melalui
rapat terbatas. Padahal, gagasan dan rencana kebijakan itu sudah tersiar luas
di berbagai media. Beragam reaksi bermunculan, baik setuju, lebih-lebih yang
tidak setuju, baik dengan alasan teknis, yuridis, psikologis, maupun politis.
Diantaranya yang banyak tersiar di media, kebijakan tentang hari sekolah
dipahami sebagian masyarakat sebagai sekolah sehari penuh. Dengan pemahaman
demikian, banyak pihak mengira kebijakan ini akan mematikan pendidikan
keagamaan. Siswa tersita waktunya oleh kegiatan sekolah formalnya. Sehingga,
apa yang dipikirkan Mendikbud di mata masyarakat terkesan serba salah. Bahkan,
dengan kebijakan tentang hari sekolah yang dikenal dan dipahami sebagai full
day school, Mendikbud dikesankan hendak menghapuskan madrasah diniyah dan
kegiatan keagamaan lain yang terselenggara pada petang hari.
Di antara beberapa alasan Mendikbud adalah:
Sebagai pembantu Presiden, Mendikbud berupaya menerjemahkan agenda
prioritas Presiden. Dalam Nawacita secara eksplisit dinyatakan: Presiden akan
melaksanakan wajib belajar 12 tahun tanpa pungutan; menekankan pendidikan karakter,
terutama pada aspek pendidikan kewarganegaraan; dan akan mengevaluasi berbagai
model penyeragaman pendidikan.
Mendikbud menjelaskan bahwa dirinya justru bermaksud memfasilitasi
kegiatan keagamaan dan kegiatan lain dengan menyingkronisasikannya dengan
program ekstra dan kokurikuler. Sementara bagi sekolah yang belum memiliki
kegiatan ekstra dan atau kokulikuler yang terkait lingkungannya, kebijakan ini
dianggap dapat menjadi suatu stimulans.
Kebijakan tentang hari sekolah tidaklah berdiri sendiri dan bertujuan
tunggal. Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy telah melangsir program
Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pendidikan karakter yang telah dicanangkan
sejak 2010 belakangan tampak melempem dan tak efektif sehingga perlu
direvitalisasi dan diekstensifikasi, di antaranya melalui pengaturan hari
sekolah.
Kebijakan hari sekolah bertujuan mengatasi kebuntuan terkait kewajiban
guru memenuhi beban kerjanya. Pasal 35 Ayat (2) UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen dengan tegas menyatakan: beban guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka
dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu.
Kebijakan hari sekolah menjadi isu full day school yang berpotensi
menimbulkan polarisasi di masyarakat sehingga ‘’dibatalkan’’ Presiden. Menurut
Mendikbud, Presiden akan memperkuat Permendikbud No 23/2017 tentang Hari
Sekolah dengan Peraturan Presiden tentang Penguatan Karakter.
Polemik Hari Sekolah Berakhir
Dilansir dalam harian Kompas (7/09), Presiden Joko Widodo, Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj, Ketua PP Muhammadiyah
Anwar Abbas, dan pimpinan sejumlah ormas Islam lainnya memberikan keterangan
kepada wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu lalu (6/9). Dalam kesempatan
itu, Presiden mengumumkan Peraturan Presiden tentang Penguatan Pendidikan
Karakter telah ditandatangani.
Presiden terbitkan perpres setelah terjadi reaksi pro maupun kontra
dari masyarakat mengenai rencana kemendikbud yang berencana mewajibkan full day
school sebagai model pendidikan di Indonesia. Polemik jumlah hari sekolah dalam
sepekan berakhir menyusul terbitnya Peraturan Presiden No 87/2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter. Peraturan itu membebaskan sekolah atau madrasah
menerapkan penguatan karakter selama lima atau enam hari sepekan.
Menyempurnakan ketentuan sebelumhya, Perpres No 87/2017 membebaskan
lembaga pendidikan formal, baik sekolah maupun madrasah, memilih waktu
penyelenggaraan penguatan pendidikan karakter (PPK). Dalam pasal 9 diatur,
sekolah dapat melaksanakan pendidikan selama lima atau enam hari dalam satu
pekan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy, menyatakan, hari
belajar menjadi opsional. ‘’Ada lima hari, ada enam hari,’’ tuturnya. Penetapan
hari sekolah harus disepakati bersama pihak sekolah dan komite sekolah. Selain
itu juga harus mempertimbangkan kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan,
ketersediaan sarana dan prasarana, kearifan lokal, serta pendapat tokoh
masyarakat/tokoh agama.
Pendidikan Karakter (Menurut Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017
Tentang Penguatan Pendidikan Karakter)
Definisi PPK yakni gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan
pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah
hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga dengan kerja sama antara satuan
pendidikan, keluarga, dan masyarakat. (Pasal 1)
Tujuan PPK adalah (1) Membangun dan membekali peserta didik dengan jiwa
Pancasila dan pendidikan karakter guna menghadapi dinamika perubahan, (2)
mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan karakter
sebagai jiwa utama peserta didik dengan dukungan pelibatan publik melalui
pendidikan jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan
keberagaman budaya Indonesia, (3) Merevitalisasi dan memperkuat potensi dan
kompetensi pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, masyarakat, dan
lingkungan keluarga dalam mengimplementasikan PPK. (Pasal 2)
Dalam Pasal 1 Ayat 1 Perpres No 87/2017 dijelaskan, PPK merupakan
bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang bertujuan membangun
dan membekali anak bangsa menjadi generasi emas berjiwa Pancasila dan
berkarakter baik pada 2045.
PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila, terutama
nilai-nilai religius, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, cinta Tanah Air, cinta damai, peduli sosial, dan bertanggung jawab.
PPK tidak hanya dilaksanakan oleh lembaga pendidikan formal, tetapi juga
lembaga pendidikan nonformal dan informal dalam keluarga.
Praktisi pendidikan Doni Koesoema mengatakan, lima atau enam hari
sekolah bukan bagian substansial dari PPK. Yang harus diperhatikan adalah tiga
pendekatan, yakni berbasis pembelajaran di kelas, berbasis budaya, dan
pelibatan masyarakat.
Paradigma Pendidikan Islam, Kaitannya dengan Model Full Day School
Hari ini di tengah-tengah masyarakat sedang berlangsung krisis
multidimensional dalam berbagai bidang kehidupan. Kemiskinan, kebodohan,
peningkatan tindak kriminal, pornografi dan berbagai bentuk kemerosotan moral
telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Krisis yang
demikian berat itu hanya mungkin dihadapi melalui solusi yang paradigmatik dan
integral, karena semua problema itu sesungguhnya berpangkal pada sistem yang
terlahir dari pandangan hidup yang salah, yaitu sekulerisme. Penyelesaian yang
parsial tidak akan menyelesaikan secara tuntas berbagai krisis itu. Bahkan
sebaliknya bisa memicu problema baru yang mungkin tidak kalah gawatnya. Solusi
paradigmatik dan integral yang dimaksud tidak lain adalah dengan cara
menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang
pendidikan, berlandaskan pada aturan syariat Islam.
Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas Islam.
Dalam pendidikan Islam, aqidah Islam menjadi dasar penetuan arah dan tujuan
pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta
proses belajar mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru serta budaya
sekolah yang akan dikembangkan. Paradigma pendidikan yang berasas aqidah Islam
harus berlangsung secara berkesinambungan pada seluruh jenjang pendidikan yang
ada, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. Sementara orientasi keluaran dari
pendidikan itu tercermin dari keseimbangan pada ketiga unsurnya, yakni:
pembentukan kepribadian Islam (Syakhsiyah Islamiyyah), penguasaan tsaqofah
Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Maka dalam orientasi
pendidikan yang ideal, ketiga unsur tersebut harus merupakan satu kesatuan yang
utuh, bukan terpisah satu sama lain dan diposisikan berbeda dimensi apalagi
dengan proporsi sangat tidak seimbang yang menyebabkan kegagalan pembentukan
karakter dan kepribadian peserta didik selama ini.
Secara faktual, pendidikan melibatkan tiga unsur pelaksana, yaitu
keluarga, sekolah dan masyarakat. Misalkan saja, buruknya pendidikan anak di
rumah memberi beban berat kepada sekolah dan menambah ruwetnya persoalan di
tengah masyakarat. Sementara, situasi masyarakat yang buruk jelas membuat
nilai-nilai yang mungkin sudah berhasil ditanamkan di tengah keluarga dan
sekolah menjadi kurang optimum. Apalagi bila pendidikan di sekolah juga kurang
bagus, maka lengkaplah kehancuran dari tiga pilar pendidikan tersebut.
Berdasarkan sirah Rasul hingga masa tarikh Daulah Khilafah, pelaksanaan
pendidikan sekolah di masa kejayaan Islam, selain paradigma pendidikan yang
telah disampaikan di atas yakni memberlakukan,
(1) waktu belajar untuk ilmu-ilmu Islam (tsaqofah Islamiyyah) diberikan
setiap minggu dengan proporsi yang disesuaikan dengan waktu pelajaran ilmu-ilmu
kehidupan (iptek dan keterampilan),
(2) libur sekolah hanya diberikan pada hari Raya Idul Fitri dan Idul
Adha (termasuk hari tasyri’). Masa pendidikan berlangsung sepanjang tahun dan
tujuh hari dalam seminggunya. Hal ini menjadikan umat Islam biasa beretos kerja
tinggi. Secara ringkas waktu belajar untuk setiap harinya dibagi menjadi dua
kelompok: (a) jam pagi, dimulai jam 07.30 hingga waktu Dhuhur (jam 12.00) atau selama
empat jam ditambah waktu istirahat; (b) jam sore, dimulai sejak selesainya
shalat Ashar (jam 15.30) sampai dengan jam 20.00 atau setara dengan empat jam
ditambah waktu istirahat.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasul SAW:
‘’Jadikanlah makan sahur sebagai penguat untuk usaha di siang hari, dan
jadikanlah tidur siang sebagai penguat ibadah di malam hari.’’ (H.R. Ibnu
Majah, Ibnu Abi Asim dan Al Hakim dari Ibnu Abbas)
Berdasarkan sirah Nabi SAW dan tarikh Daulah Khilafah – sebagaimana
disarikan oleh Al-Baghdadi (1996) dalam buku Sistem Pendidikan di Masa Khilafah
Islam, Negara memberikan jaminan pendidikan secara cuma-cuma (bebas biaya) dan
kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) sebaik mungkin.
Kesejahteraan dan gaji para pendidik sangat diperhatikan dan merupakan beban
yang harus dipikul Negara serta diambil dari kas baitul maal. Sistem pendidikan
bebas biaya tersebut didasarkan atas ijma’ shahabat yang memberi gaji kepada
para pengajar dari baitul maal dengan jumlah tertentu. Di Madrasah Al
Muntanshiriah yang didirikan Khalifah Al Muntashir di kota Baghdad, setiap
siswa menerima beasiswa berupa emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).
Kehidupan keseharian mereka dijamin sepenuhnya. Fasilitas sekolah tersedia
lengkap, seperti perpustakaan beserta isinya, rumah sakit dan pemandian.
Jadi, berbicara Full Day School adalah berbicara soal bagaimana teknis
pelaksanaan pendidikan yang harus didasarkan pada paradigma yang mendasari
pendidikan tersebut di bangun. Jelaslah bahwa pendidikan ideal tidak hanya
dapat diwujudkan dengan memperbaiki teknis pelaksanaan pendidikannya saja,
namun fundamental hingga landasan utama.
Sumber:
Litbang ‘’Kompas’’/IWN/GHR, disarikan dari Peraturan Presiden Nomor 87
Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan berita ‘’Kompas’’
Yusanto, Ismail dkk. 2014. Menggagas Pendidikan Islami. Bogor, Al-Azhar
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar